Jumat, 21 Oktober 2016

Why vs Thank You



“Mengapa?”

Selalu ada di benakku, menghantui setiap pikiran kelam ini, dan selalu bertanya-tanya di sela-sela hati yang gundah.

Mengapa mereka bisa ini, sedangkan aku tak bisa?

Mengapa aku yang harus mencintainya terlebih dahulu bukannya dia?

Mengapa tubuhku tak sempurna?

Mengapa ada orang membenciku, kenapa tak semuanya saja mencintaiku?

Mengapa aku selalu kesulitan dalam menjalani semuanya?

Dan lain-lain..

Aku terlahir tak sempurna. Banyak hal dalam kekuranganku yang membuat sulit untuk berkembang. Banyak suara kiri kanan yang berkata bahwa aku tak ada apa-apanya, aku tak bisa dan aku tak memiliki kemampuan apapun yang dapat kubanggakan. Ya, berbeda pastinya dengan kalian. Atau.. mungkin kita sedang dalam hal yang sama? Entahlah, aku tak tahu.

Ya, yang aku tahu, aku salah. Hal itu membuatku jatuh dan menutup diri. Aku merasa dunia sama sekali tak membutuhkan aku. Oke! Oke! Mungkin terlalu berlebihan. Namun, kadang kedagingan ini membuat aku secara manusiawi berpikir sesingkat itu.

Hmm..


Namun, makin kesini, aku merasa sungguh berdosa. Siapa aku manusia yang hanya dapat mengeluh. Padahal aku tahu, penciptaku maha memberi, maha tahu dan selalu punya yang terbaik dari hidupku.  Sadarkah kita? Waktu sangat singkat. Paling lama hidup hanya 100 tahun. Dan dalam waktu itu pula belum tentu kita dapat menghabiskan jarak dari bumi ke matahari. Tapi, kita memakainya hanya untuk bertanya “mengapa” tanpa melakukan suatu hal yang berguna dalam diri. Sungguh sia-sialah aku.

Akhirnya.. Aku bangun.. Berdiri.. Sambil menghirup napas sepanjang yang aku bisa.. Dan menghembuskannya kembali ke alam.

Ya, bersyukur sesimple itu. Aku terlalu bodoh yang selalu memikirkan bahwa keajaiban selalu bermula dari hal yang besar. Padahal dalam hidup ini banyak sekali alasan untuk kita bersyukur. Kadang jatuh ke tanah pun kita dapat bersyukur. Hmm caranya? Coba sadari, jikakita jatuh, lalu sakit, itu artinya syaraf dalam tubuh kita masih sehat dong ya. Bayangkan, kita sudah berdarah-darah lalu tak merasa sakit sedikitpun.  Hanya itu singkatnya.

Terlalu mudahnya aku bertanya “mengapa”,  namun sulit melontarkan kata “terimakasih”. Padahal panjangnya tak seberapa berbeda. Tak sanggup aku memilikirkan isi hati Tuhan, yang pastinya sedih karena keluh kesah yang aku buat. Ya, rasanya seperti mendengar temanmu curhat untuk masalah yang sama berulang-ulang.

cr: hosemotret

Terkadang aku tertegun, mengapa aku sulit berterimakasih? Berterimakasih atas hari ini, atas indahnya alam yang ku lihat sampai berterimakasih atas kesakitan yang dapat aku rasakan. Tak terbayang jika aku manusia yang tak dapat marah, tak dapat sakit dan tak dapat sedih. Mungkin hidup lebih tak berguna lagi jadinya.

Aku ingin berubah untuk bersyukur. Dan berhenti mengeluh. Seperti kata sebuah quote “Baiklah kita berubah untuk diri kita sendiri bukan karena orang lain. –AJC.”  Ya, demi kebaikan kita sendiri kita harus berubah. Bukan karena mereka yang mencerca aku dan mengatakan aku tak bisa. Namun, karena aku yang sudah terlanjur sedih melihat isi hati sang pencipta.

Sekarang tak akan ku ijinkan semua benih perkataan jahat tumbuh subur di hati ini. Orang-orang yang berkata aku tak bisa, tak mampu dan tak berguna, akan ku hilangkan. Karena aku tahu bahwa Dia telah memberiku kemampuan dan seluruh keajaiban itu ada di sekitar kita. Hai pembaca, bukan maksud dariku untuk menggurui kamu ya. Aku hanya menceritakan saja hal bodoh yang aku sudah perbuat sebelumnya. Barangkali kita dapat bersama-sama berubah untuk diri kita sendiri.  Aku pun sekarang sadar, dalam segala situasi yang ada di dalam hidupku sekarang, sudah layak dan sepantasnya aku berterimakasih padaNya.


“It’s better say thank you than why, Right?” –SC.